Perang Dagang AS
Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya mengguncang arus perdagangan internasional, tetapi juga mengubah secara fundamental cara negara-negara menyusun kebijakan ekonomi.
Chief Economist PT Trimegah Sekuritas, Fahrul Fulvian, dalam sesi pemaparan Macroeconomic and Bond Market Outlook, menyebut dunia kini memasuki fase baru yang ia istilahkan sebagai A Brave New World. Dalam fase ini, multilateralisme melemah dan kebijakan ekonomi global tidak lagi berbasis aturan bersama (rule-based), melainkan berlandaskan diskresi dan negosiasi.
“Dulu, ada pakem yang bisa kita pegang dalam membuat keputusan. Sekarang semuanya bergeser, kebijakan global makin dipengaruhi oleh agenda politik dan kompromi bilateral,” ujar Fahrul, dikutip Rabu (4/6/2025).
Baca Juga: Update Perang Dagang: Beijing Ungkap Sejumlah Dusta Trump ke China
Ketegangan perdagangan yang terus meningkat antara dua raksasa ekonomi dunia itu telah menciptakan ketidakpastian tinggi dalam sektor perdagangan global. Kondisi ini berdampak langsung terhadap dunia usaha, terutama pelaku ekspor-impor.
Fahrul menjelaskan bahwa kontrak-kontrak dagang jangka panjang semakin sulit direalisasikan karena risiko kebijakan yang tak menentu. “Sekarang, pelaku usaha lebih memilih kontrak 3–6 bulan, bahkan banyak yang bertransaksi tunai. Ini menunjukkan perubahan drastis dalam persepsi risiko,” jelasnya.
Ketidakpastian tersebut turut meningkatkan kebutuhan pembiayaan jangka pendek. Permintaan terhadap modal kerja (working capital) melonjak karena pelaku usaha perlu menjaga likuiditas tinggi dan menghindari risiko piutang jangka panjang.
Baca Juga: Update Perang Dagang: AS Isyaratkan Negosiasi Trump dan Xi Jinping
Menurut Fahrul, yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar perang tarif adalah munculnya gejala bahwa dominasi dolar AS sebagai jangkar global mulai melemah, atau yang ia sebut sebagai "dollar exceptionalism is over". Negara-negara surplus seperti Tiongkok dan Jepang mulai mengurangi minat terhadap surat utang pemerintah AS, mengganggu stabilitas ekosistem keuangan global yang selama ini menopang kekuatan dolar.
“Relasi 40 tahun antara yieldobligasi AS dan kekuatan dolar terputus sejak April lalu. Ini bukan hanya gangguan teknikal, ini pergeseran sistemik,” tegasnya.
Di tengah perubahan arah ekonomi global, muncul pertanyaan strategis: bagaimana Indonesia harus merespons? Fahrul menekankan perlunya regulator dan pelaku pasar memahami konteks global dan membangun strategi pendanaan yang lebih mandiri serta adaptif.
“Pasar obligasi lokal harus jadi alternatif strategis. Di tengah gejolak global, kekuatan pembiayaan dalam negeri akan menjadi tameng utama kita,” pungkasnya.
(责任编辑:娱乐)
- ·VIDEO: Apa Keistimewaan buat Orang yang Meninggal di Bulan Ramadan?
- ·Masinis Kereta Tabrakan di Bandung di Bandung Diduga Terjepit
- ·5 Buah Penurun Asam Urat, Ampur Usir Rasa Sakit
- ·Gibran Bela Mati
- ·Tips Makan Kue Kering Lebaran Anti Bikin Badan Melar
- ·Bertemu Puan Usai Debat Capres, Anies Buka Peluang Koalisi Paslon 1 dan 3
- ·Bela Anies, JK Sebut Pemprov Sudah Benar Soal Reklamasi
- ·10 Alasan Sudah Rajin Olahraga Tapi Berat Badan Malah Naik
- ·Erick Thohir Tunjuk Bayu Krisnamurthi Jadi Dirut Perum BULOG, Gantikan Budi Waseso
- ·Sering Dicap 'Pembunuh' Obrolan, Apa itu Dry Text?
- ·Dalil, Doa, dan Cara agar Terhindar dari Siksa Kubur
- ·5 Buah Penurun Asam Urat, Ampur Usir Rasa Sakit
- ·FOTO: Warisan Budaya Myanmar Terancam Punah Akibat Gempa
- ·Bukan Bisulan, Apa yang Terjadi Jika Makan Telur Setiap Hari?
- ·Mengenakan Kemeja Garis Hitam Putih, Ganjar Pranowo: Saya Bukan Orang Abu
- ·Eggi Sudjana Laporkan Balik Farhat Abbas
- ·Laga Panas Persija Vs Persib Dijaga 15 Ribu Personel Gabungan
- ·5 Makanan Kaya Vitamin D, Bantu Jaga Tulang dan Imunitas
- ·Kasus Covid
- ·Anies PD Kuasai Isu Pertahanan di Debat Capres